Detak nadi (1)


senja

Langit Jakarta sore, suram. Awan kelam merasa betah menyelimuti mentari. Tiupan angin malas menyapu dedaunan kering. Beberapa orang berpakaian serba hitam terlihat berjalan sendu. Mereka menuju ke sebuah pemakaman yang sedang berlangsung. Seorang pendeta tua dengan alkitab di tangannya membacakan doa-doa. Orang-orang hanya bisa menunduk menatap kosong peti mati yang perlahan turun memasuki bumi.

Inilah awal dari kehidupan. Dan mati hanya sebuah permulaan.

Gemuruh Sang Raja Langit bergumam. Seperti memaki para pendosa yang masih saja tertawa lantang di bumi. Rintik hujan pun menambah kesuraman sore itu. Satu persatu para manusia berpakaian hitam itu mulai meninggalkan peti mati dan penghuninya. Mereka tak sudi jika pakaian mewah itu menjadi basah dan kotor. Butir-butir tanah kotor merangkul kotak kayu mewah yang kini hilang harganya. Sekarang penghuni makam hanya punya kesendirian.

Detak, pria muda itu berdiri nanar di depan sebuah rumah mewah yang bernuansa mediterania. Kemeja hitam yang ia kenakan telah kuyup oleh air hujan dan tanah merah. Sekelebat cahaya putih terang kemerahan masih riang menari di kaki langit. Matahari tua tampak lelah dan sesaat lagi siap menuju peraduannya. Seekor kelelawar besar terbang rendah melintasi rumah. Detak terdiam sesaat menatap langit senja ini. Senja yang selalu mempunyai cerita. Senja yang berandil penting mengubah wajah siang menjadi malam.

Dengan lunglai Detak memasuki pelataran rumah. Tak ada siapa pun. Detak menuntun langkah-langkah lunglai menuju kamarnya di lantai 2. Sesaat hendak memasuki kamarnya tiba-tiba seorang pria sepuh menghampiri Detak.

“Dari mana kamu, le?” tanya pria tua itu. Ia adalah opa, ayah dari ibunda Detak. Satu-satunya figur kakek yang ia kenal. Seumur hidup, Detak hanya mengenal satu kakek yang ia sebut opa. Oma telah lama mangkat sejak ibu masih remaja. Dan orang tua ayah tak pernah ia temui. Ayah tak pernah mau memperkenalkannya tanpa ada alasan. Hanya tak ingin.

Opa masih menunggu jawaban Detak. Yang ditanya cuma diam bahkan menoleh pun tidak. Seakan mengerti dengan apa yang dirasa cucunya, opa pun membiarkan Detak memasuki kamarnya dan segera menutup pintu. Opa hanya bisa menarik napas berat dan menjauh dari kamar Detak.

Di dalam kamar Detak mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Semua masih sama. Ranjang kusut tak tertata, komputer yang masih menyala, asbak nan penuh puntung-puntung rokok, dan mug putih sisa coklat panas. Detak menghempaskan tubuhnya di ranjang. Matanya nanar memandang langit kamar. Lalu merogoh kantung celana guna mengambil sebungkus rokok. Ia nyalakan dan menghisap dalam. Asap dan dendam ia hirup pelan, penuhi rongga dada dan membiarkannya sejenak di sana. Masih dalam keadaan berbaring ia hembuskan gumpalan nikotin itu. Ia lepaskan rasa pedar yang tlah menyatu dengan asap. Dua tarikan napas sudah, dan Detak memalingkan wajahnya ke arah meja kerja. Kedip lampu modem seakan mengirimkan sandi morse tuk memanggilnya. Detak bangkit dan menghampiri. Sentuhan halus pada mouse cukup untuk mengaktifkan kembali komputernya yang terlelap. Dalam hitungan detik ia telah terhubung dan log in di akun twitternya, @DetakNadi. Satu update status ia tulis, “Di antara ufuk dan pelataran senja. Di sela jejak dan napas. Menyatu dalam detak dan nadi. Satu!”

Senja berlalu, langit menghitam. Hari berganti malam. Detak menelusuri jejak linimasa. Tak ada yang menarik hatinya. Beberapa mention ia abaikan.

“Masihkah sama dengus kita berirama?” cuapnya yang kedua di linimasa. Detak mulai bosan. Tangannya menggerakan pointer mouse menuju tanda silang di jendela browser. Ketika ia hendak menghentakkan jari telunjuk di sisi kiri mouse tiba-tiba satu notifikasi muncul. Detak tertahan. Pointer bergerak membuka notifikasi itu.

“@DetakNadi Hai :)”

-Bersambung-

6 thoughts on “Detak nadi (1)

Leave a reply to Novelyzius Cancel reply